Tinggal Kelas di Masa Pandemi


Tinggal Kelas di Masa Pandemi

Jakarta - Dilema besar yang kami hadapi tahun ini adalah keputusan untuk meluluskan dan menaikkan siswa. Dilemanya adalah bagaimana jika selama setahun penuh pada kelas XII, misalnya, seorang siswa tak pernah hadir secara virtual, bahkan juga tak ikut ujian akhir? Apakah siswa tersebut bisa diluluskan? Apakah atas nama corona kita bisa meluluskan siswa sehingga melupakan aspek penting dalam pendidikan, yaitu tanggung jawab siswa?

Karena sadar bahwa tanggung jawab adalah hal penting yang tak bisa hilang, Dewan Guru di tempat kami memutuskan untuk tidak meluluskan siswa yang bebal. Hal yang sama juga berlaku untuk soal tinggal kelas. Kami sadari bahwa perolehan angka ujian pada siswa tidak menjadi hal pokok dan satu-satunya. Artinya, andai siswa mendapat nilai 0 pun pada setiap ulangan dan PR-nya, siswa tersebut tetap dinaikkan. Namun, dosa besar bagi seorang guru jika menaikkan siswa yang sama sekali tak pernah hadir secara virtual. Atas dasar itu, kami juga memutuskan bahwa siswa yang tak pernah hadir akan ditinggalkelaskan atau dipindah.

Pengetahuan boleh tertinggal selama corona, tetapi tanggung jawab tak bisa ditinggal, apalagi diabaikan atas nama corona. Saya tahu, keputusan ini tidak akan disukai oleh banyak orang. Bahkan, barangkali akan hadir oknum untuk memanas-manasi bahwa adalah tak masuk akal pada masa corona siswa tinggal kelas. Tetapi, bagi kami, sekecil apa pun, nilai pendidikan harus tetap dijaga, terutama di masa corona.

Kami sadari, penolakan potensial muncul. Apalagi sudah sering viral kisah tidak naik kelas siswa berujung pada perkara bahkan mobilisasi media ke sekolah oleh oknum-oknum tertentu. Tetapi, lagi-lagi, Dewan Guru memutuskan bahwa ada nilai pendidikan yang tak bisa dilanggar.

Potensi Penolakan

Sekali lagi, penolakan, terutama di zaman virtual ini potensial muncul. Bahkan, imajinasi kita tentang ini bisa sangat buruk. Tidak percaya? Mari kita mulai dari kisah menggetirkan ini: seorang siswa menganiaya gurunya hanya karena tinggal kelas. Silakan cari dari Google. Menggetirkan, bukan?

Atas cerita seperti itu, saya kadang merasa ngeri sebagai guru. Tugas guru sebenarnya apa? Apakah hanya untuk mengisi rapor? Apakah hanya untuk menaikkan level siswa dengan membuatnya naik kelas? Apakah guru tak punya hak sekecil apa pun untuk meninggalkelaskan siswa?


Begini: apakah ada toleransi pada siswa yang bebal jika kesempatan sudah diberikan berkali-kali, tetapi malah tak disanggupi? Artinya, selama 365 hari dalam setahun, siswa itu tak pernah sehari pun muncul dalam tugas-tugas secara virtual. Adakah rasa tanggung jawab dan pantaskah ia naik kelas?

Corona bisa membatasi pembelajaran, tetapi tidak dengan pendidikan. Corona bisa menjadi alasan untuk tidak maksimal belajar, tetapi tidak menjadi pembenaran untuk tidak belajar sama sekali. Jujur, saya juga memberikan nilai kosong (bukan nol) pada beberapa siswa yang sama sekali tak belajar. Berdosa rasanya jika saya mengisi nilai tersebut, apalagi setelah diberikan kelonggaran, namun tak kunjung dikerjakan.

Saya tak akan mencecar orang yang akan membela siswa seperti ini. Tetapi, sejauh ini, saya belum bisa menerima apa dasar argumen seseorang sampai membela kebebalan yang luar biasa. Catat, sekali lagi, saya memberikan nilai kosong, bukan nilai nol.

Saya tegaskan seperti itu karena guru sendiri pun tidak selalu bisa melewati batas-batas nilai normal. Pada UKG sendiri, guru, misalnya, pernah mendapatkan nilai nol. Artinya, jika UKG menjadi patokan mati, tentu sangat banyak guru kita yang "tinggal kelas" sehingga karena itu tak layak mengajar. Hanya saja, karena UKG bukan menjadi patokan mati sebab ada latar belakang lain yang lebih patut dipertimbangkan, maka guru-guru itu pun dinaikkelaskan.

Kapan Naik Level?

Kiranya, hal serupa dalam tataran idealnya juga terjadi pada siswa. Pasalnya, jika angka pada KKM menjadi acuan mati, akan sangat banyak siswa yang gagal. Namun, karena pelajaran kita tidak melulu akademis, tetapi juga membahas sikap dan psikomotorik, nilai rendah itu pun akhirnya bisa dikompromikan agar menyentuh angka KKM. Bahkan, pada berbagai sekolah, agar mendapat BOS yang melimpah berikut akreditasi yang kemilau, nilai justru bisa ditransaksikan dan diinflasikan.

Saya pikir, dalam lajur berpikir seperti inilah kita harus memahami bagaimana bisa siswa tinggal kelas pada masa corona. Supaya terang, mari saya jelaskan dengan mudah bahwa adalah hak prerogatif guru untuk memberikan nilai. Tetapi, urusan apakah seseorang itu naik kelas atau tidak, itu adalah urusan sekolah sehingga tak jarang sekolah mengadakan "rapat pleno" antara guru dan wali kelas, bahkan dengan orangtua! Dan, sering kali tujuan dari "rapat pleno" adalah untuk "mengasihani" siswa agar naik kelas.

Nah, inti persoalan pada tulisan ini sebenarnya sederhana: layakkah seorang siswa tinggal kelas, terutama di masa corona? Untuk menjawabnya, silakan toleh ke negara maju, seperti Finlandia. Jangankan tinggal kelas, pemeringkatan pun sama sekali tidak ada di sana. Namun, apakah sesederhana membandingkan ke Finlandia yang sudah matang? Saya jadi teringat pada siswa-siswa saya sendiri. Nilainya rendah. Waktu remedial tak disanggupi. Tenggat toleransi terakhir batas pengumpulan tugas tak ditanggapi. Karakternya semakin buruk, bahkan brutal.

Apakah kita harus menaikkan level siswa ini ke taraf lebih baik? Hanya guru yang bisa memahaminya! Hanya, memang, di samping ketidakpahaman saya mengapa masih saja ada oknum yang membela karakter siswa yang bebal, melihat berbagai kenyataan yang pernah ada, di mana pengadilan juga berusaha menggagalkan vonis tinggal kelas dari guru, dalam hati saya bertanya-tanya: lantas tugas dan hak guru sebenarnya apa?

Satu lagi, bisakah negara ini naik level jika guru tak berhak menilai siswanya, terutama di masa pelik seperti saat ini?

sumber: https://news.detik.com/kolom/d-5580414/tinggal-kelas-di-masa-pandemi?_ga=2.110444737.598641971.1622541044-1607966542.1622541044